Cari Blog Ini

Sabtu, 18 Juni 2011

PERDAGANGAN PEREMPUAN: SEBAGAI FENOMENA BLACK ECONOMY (STUDI KASUS SEX TOURISM DI THAILAND DAN FILIPINA)

oleh:
Edi Miranto dan Mukhamad Endry Saputra
Mahasiswa Prodi Ilmu Hubungan Internasional Universitas Slamet Riyadi Surakarta

Latar Belakang

Timbulnya krisis ekonomi di sebuah negara menimbulkan semakin terbatasnya lapangan pekerjaan akibat berhentinya operasi sejumlah besar perusahaan sehingga menimbulkan naiknya angka pengangguran dan pada akhirnya akan menaikkan angka kemiskinan absolut.

Banyaknya kredit macet dan menurunnya perkembangan di sektor usaha menyebabkan pihak penyedia jasa keuangan seperti bank membatasi ekspansi kredit di sektor produktif dan lebih suka bermain di sektor konsumtif seperti penjualan kartu kredit. Dan ini yang kemudian memicu semakin banyaknya usaha yang bangkrut karena kekurangan modal.

Di sisi lain bisnis usaha hiburan tidak pernah mengenal kata krisis. Tempat-tempat hiburan malam misalnya tetap saja banyak dipadati pengunjung. Lokalisasi-lokalisasi pun tetap saja ramai dikunjungi para lelaki hidung belang . Bahkan akibat semakin banyaknya orang yang depresi dan stress menyebabkan tempat-tempat itu semakin ramai dikunjungi. Dan bisnis hiburan jasa seks atau pelacuran merupakan sebuah bisnis yang sangat menggiurkan, dengan omzet mencapai miliar rupiah per hari dan tidak pernah mengenal kata sepi. Tingginya pendapatan dari bisnis ini menyebabkan pelakunya menjadi sangat kuat dan akhirnya membentuk sebuah jaringan kejahatan yang terorganisir dengan rapi dan nyaris tidak terjamah hukum.

Pelacuran dan Perdagangan Perempuan

Istilah pelacuran berasal dari bahasa latin pro-situere yang berarti membiarkan diri berbuat zina, melakukan persundalan, pencabulan. Sedangkan prostitue dikenal pula dengan istilah wanita tuna susila (WTS).[1]

Pelacuran merupakan profesi yang sangat tua usianya dan sering dikatakan setua umur kehidupan itu sendiri. Pelacuran ini selalu ada pada semua negara berbudaya sejak zaman purba sampai sekarang dan senantiasa menjadi masalah sosial, menjadi objek urusan hukum dan tradisi. Selanjutnya, dengan berkembangnya teknologi, industri dan kebudayaan manusia, turut berkembang pula praktek pelacuran dalam berbagai bentuk dan tingkatannya.[2]

Definisi mengenai perdagangan orang mengalami perkembangan sampai ditetapkannya Protocol to Prevent, Suppress and Punish Trafficking in Persons Especially Women and Children Suplementing the United Nation Convention Against Transnational Organized Crime tahun 2000. Dalam protokol tersebut yang dimaksudkan dengan perdagangan orang adalah: (a) ... the recruitment, transportation, transfer, harbouring or receipt of persons, by means of the threat or use of force or other forms of coercion, of abduction, of fraud, of deception, of the abuse of power or of a position of vulnerability or of the giving or receiving of payments or benefits to achieve the consent of a person having control over another person, for the purposes of exploitation. Exploitation shall include, at a minimum, the exploitation of the prostitution of others or other forms of sexual exploitation, forced labour or services, slavery or practices similar to slavery, servitude or the removal of organs. (“... rekrutmen, transportasi, pemindahan, penyembunyian atau penerimaan seseorang, dengan ancaman atau penggunaan kekerasan atau bentuk-bentuk tekanan lain, penculikan, pemalsuan, penipuan atau pencurangan, atau penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, ataupun penerimaan/pemberian bayaran, atau manfaat sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang tersebut untuk dieksploitasi, yang secara minimal termasuk ekspolitasi lewat prostitusi atau bentuk-bentuk eksploitasi seksual lainnya, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktek-praktek yang menyerupainya, adopsi ilegal atau pengambilan organ-organ tubuh”).[3]

Definisi ini diperluas dengan ketentuan yang berkaitan dengan anak di bawah umur (di bawah 18 tahun), bahwa: The recruitment, transportation, transfer, harbouring or receipt of a child for the purpose of exploitation shall be considered “trafficking in persons” even if this does not involve any of the means set forth in subparagraph (a).[4]

Dari definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur dari perdagangan orang (Harkristuti, 2003), adalah:

1. Perbuatan: merekrut, mengangkut, memindahkan, menyembunyikan atau menerima.

2. Sarana (cara) untuk mengendalikan korban: ancaman, penggunaan paksaan, berbagai bentuk kekerasan, penculikan, penipuan, kecurangan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan atau pemberian/penerimaan pembayaran atau keuntungan untuk memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas korban.

3. Tujuan: eksploitasi, setidaknya untuk prostitusi atau bentuk ekspoitasi seksual lainnya, kerja paksa, perbudakan, penghambaan, pengambilan organ tubuh.

Pengertian menurut Protokol tersebut menjiwai definisi perdagangan perempuan dan anak sebagaimana tertuang dalam Keputusan Presiden RI No. 88 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak, yang menyatakan: “Perdagangan perempuan dan anak adalah segala tindakan pelaku (trafficker) yang mengandung salah satu atau lebih tindakan perekrutan, pengangkutan antar daerah dan antar negara, pemindahtanganan, pemberangkatan, penerimaan dan penampungan sementara atau di tempat tujuan – perempuan dan anak - dengan cara ancaman, penggunaan kekerasan verbal dan fisik, penculikan, penipuan, tipu muslihat, memanfaatkan posisi kerentanan (misalnya ketika seseorang tidak memiliki pilihan lain, terisolasi, ketergantungan obat, jebakan hutang, dan lain-lain), memberikan atau menerima pembayaran atau keuntungan, di mana perempuan dan anak digunakan untuk tujuan pelacuran dan eksploitasi seksual (termasuk phaedopili), buruh migran legal maupun ilegal, adopsi anak, pekerjaan jermal, pengantin pesanan, pembantu rumah tangga, mengemis, industri pornografi, pengedaran obat terlarang, dan penjualan organ tubuh, serta bentuk-bentuk eksploitasi lainnya”.[5]

Di abad modern profesi sebagai perempuan penghibur dianggap sebagai salah satu profesi menyimpang dan sarat dengan eksploitasi. Di beberapa negara profesi ini dianggap sebagai salah satu bentuk kejahatan bahkan beberapa negara menganggapnya kejahatan serius yang bahkan diancam dengan hukuman mati.

Di Indonesia sendiri pelacuran tidak dianggap sebagai kejahatan akan tetapi hanya permasalahan sosial biasa. Yang dianggap kriminal adalah profesi sebagai germo yang diancam dengan hukuman maksimal 4 tahun (Pasal 297 KUHP). Karena dianggap sebagai permasalahan sosial maka penanganannya pun dilakukan dengan pendekatan sosial.[6]

Di era desentralisasi seperti sekarang, penanganan masalah ketertiban dan sosial diserahkan pada pemerintah kota dan kabupaten setempat. Dan beberapa dari mereka kemudian menerbitkan perda mengenai masalah ini. Di satu sisi pendekatan yang dilakukan pemerintah terhadap praktek prostitusi ini dipandang cukup manusiawi karena lebih menekankan aspek pembinaan daripada penghukuman. Akan tetapi di sisi lain hal ini menyebabkan timbulnya kejahatan lain yang lebih besar yaitu praktek perdagangan perempuan dan anak-anak.

Tidak dipandangnya kegiatan prostitusi sebagai sebuah kejahatan dan kegiatan perniagaan perempuan dan anak-anakpun dianggap hanya kejahatan kecil (hukuman maksimal di bawah 5 tahun) menyebabkan bisnis ini tidak terlalu diperhatikan aparat hukum. Tidak seperti kejahatan peredaran obat bius dan obat-obatan terlarang misalnya, prostitusi relatif steril dari jamahan dan incaran penegak hukum.

Dan bisnis ini sangat menggiurkan, dengan perputaran uang yang cukup fantastis menyebabkan pelakunya memiliki cukup kekuatan untuk membentuk jaringan dan organisasi yang cukup kuat dan rapi. Di dalam bisnis ini demand selalu menekan supply, satu pekerja seks komersial seringkali harus melayani 5-10 pelanggan per hari. Dan kebutuhan akan adanya "barang baru" selalu meningkat setiap harinya, berapapun jumlah yang ditawarkan akan selalu diserap pasar. Akan tetapi karena profesi ini dianggap hina tidak terlalu banyak yang mau secara sukarela menjadi pekerja seks komersial.

Dan kondisi krisis ekonomi yang terjadi di beberapa negara membuat sangat terbatasnya lapangan pekerjaan serta meningkatnya angka kemiskinan dimanfaatkan oleh para agen-agen bisnis ini untuk bergerilya ke daerah-daerah mencari mangsa umumnya kalangan remaja putri yang putus sekolah yang kemudian dibujuk dan ditipu akan dipekerjakan dengan gaji tinggi di luar daerah bahkan juga luar negri. Bahkan dalam beberapa kasus sering juga mereka menggunakan modus yang kasar seperti penculikan.

Minimnya perangkat hukum yang bisa digunakan untuk menjerat pelaku kasus-kasus perdagangan perempuan (dan anak-anak) ini menyebabkan bisnis ini meningkat dalam angka cukup fantastis pada masa krisis ekonomi. Polisi dan aparat hukum seakan tidak berdaya, contoh saja para pelaku rekuitmen ketika ditangkap biasanya hanya dijerat dengan pasal 378 KUHP mengenai penipuan, sementara aktor utamanya hanya mampu diancam dengan pasal 297 dimana hukuman maksimalnya hanya 4 tahun, sementara konsumennya bahkan tidak bisa dijerat dengan satu pasalpun.[7]

Hal ini akhirnya membuat gerah masyarakat Internasional, Ms Radhika Coomarawamy pada tahun 2000 membuat Special Rapporteur kepada Komisi Hak Asasi Manusia PBB mengenai meningkatnya bisnis perdagangan perempuan ini. Kecaman ini juga mengemuka pada saat pembahasan revisi terhadap Konvensi Perdagangan Orang dan Exploitasi Pelacuran yang diadakan pada tahun 2001 Dan selama tiga tahun berturut-turut Indonesia pun masuk pada daftar hitam negara yang tidak mengambil tindakan apapun terhadap perbudakan manusia. Hal ini kemudian memicu kecaman dan tekanan Internasional terhadap Indonesia. Akibatnya sejumlah negara kemudian mengancam unuk memberi sanksi eknomi berupa pembatasan perdagangan terhadap Indonesia.[8]

Efek Pelacuran dan Perdagangan Perempuan terhadap Ekonomi Nasional

Kegiatan ekonomi illegal selalu akan menimbulkan distorsi ekonomi. Karena walaupun perputaran uang di bisnis ini sangat tinggi akan tetapi karena illegal maka semua kegiatan ekonomi dan jumlah uang yang berputar di bisnis ini sama sekali tidak terdata dan tercatat. Selain itu tidak akan pernah ada pemasukan ke kas pemerintah misalnya di sektor pajak dan restibusi yang didapat dari bisnis illegal ini. Akibatnya uang yang berputar dan dihasilkan dari bisnis ini dianggap tidak pernah ada dan tidak pernah terjadi sehingga tentu saja ini sangat merugikan dalam perhitungan pertumbuhan kegiatan usaha dan jumlah uang yang beredar dimana uang yang berputar dalam bisnis-bisnis illegal ini dianggap hilang.[9]

Beberapa negara dalam meminimalkan efek distorsi ekonomi ini kemudian menjadikan kegiatan bisnis illegal ini menjadi usaha legal dengan pembatasan tertentu. Misalnya kegiatan perjudian yang dilegalkan di area tertentu seperti Las Vegas Amerika atau Genting Highland di Malaysia. Di Jerman dan Belanda pun bisnis pelacuran dilegalkan dimana usaha ini menjadi obyek yang terkena pajak.

Akan tetapi ada juga efek positif dari kegiatan bisnis illegal ini. Dalam kaitannya dengan industri pelacuran, wisata seks merupakan menu yang menjadi daya tarik wisatawan mancanegara. Beberapa negara yang menjadikan wisaya seks ini sebagai ikon untuk menarik wisatawan mancanegara diantaranya Thailand dan Filipina.

Maraknya industri seks di Thailand dan Filipina adalah buah dari kemiskinan alam akibat kerusakan ekologi dan sulitnya akses ekonomi akibat sentralisasi pembangunan. Memang kebijakan Thailand untuk pengembangan ekonomi yang hanya terfokus pada tourism (Pariwisata), sebab pariwisata merupakan industri utama yang menghasilkan trilyunan rupiah. Salah satu pelayanan dalam industri ini adalah seks komersil. Biasanya para pekerja sex mencoba mengajak para turis yang berlalu lalang masuk dan minum-minum di bar. Wanita Penghibur di sini menjadi tulang punggung keluarga dan anak-anak mereka.

Efek lain dari kegiatan bisnis illegal ini terjadi ketika para pengusaha hitam yang terlibat dalam bisnis ini untuk menjaga citranya di hadapan publik berusaha mencuci uangnya di bidang usaha legal.Usaha legal yang menjadi favorit adalah di bidang usaha perdagangan dan ekspor impor, pasar modal (valuta asing, komoditi, saham) dan yang paling favorit adalah usaha properti. Hampir semua pengusaha hitam yang terlibat dalam usaha bisnis illegal selalu menjadikan usaha properti sebagai bisnis utamanya.

Dengan logika sederhana saja, seseorang bisa membeli sesuatu kalau dia memikiki uang, dan dia bisa memiliki uang kalau bekerja atau memiliki usaha, dan untuk menghasilkan uang maka tempat ia bekerja atau usaha yang dijalankannya harus produktif. Jadi dominasi perekonomian di sektor konsumsi tentu saja merupakan sebuah keajaiban ekonomi.

Pertumbuhan ekonomi saat ini sesungguhnya tidak hanya digerakkan sektor sektor usaha produktif dan investasi, namun juga digerakkan oleh ekonomi hitam (black economy). Ekonomi hitam ini bisa berupa korupsi, pembalakan hutan, perdagangan illegal, sampai ke perdagangan perempuan ini.

Analisa dan Kesimpulan

Dan di era globalisasi seperti saat ini dimana isu HAM dan gender menjadi fokus perhatian penting di kalangan masyarakat yang tinggal di negara-negara maju, isu ini bisa menjadi ganjalan serius dalam hubungan ekonomi di beberapa negara. Hal ini karena maraknya perdagangan perempuan dan anak-anak ini bisa menimbulkan efek hilangnya sebuah generasi (lost generation) yang mengancam ketahanan ekonomi di masa depan.

Hukum dan ekonomi selalu berkaitan erat. Lemahnya hukum akan menimbulkan banyak terjadi distorsi ekonomi baik berupa kepastian usaha maupun maraknya kegiatan bisnis illegal. Karena itu salah satu cara yang harus ditempuh untuk

memperbaiki kondisi perekonomian nasional adalah dengan melakukan penegakan hukum yang tegas dan tidak pandang bulu.

Dalam sejarah perekonomian negara-negara lain hukum yang tegas selalu berimbas positif pada naiknya pertumbuhan perekonomian negara itu. Negara-negara yang memiliki sistim perekonomian yang kuat dan makmur selalu ditunjang oleh sistim hukum yang kuat dan adil pula.

Kegiatan perdagangan perempuan dan anak-anak merupakan sebuah bentuk perbudakan manusia di era modern sehingga penghapusan tindakkan ini harus menjadi prioritas bersama demi menyelamatkan anak-anak bangsa ini baik sekarang maupun di masa depan. Perempuan dan anak-anak adalah penentu generasi yang akan datang, apabila kita mengabaikan mereka maka sama saja kita mengabaikan nasib bangsa ini di masa depan.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Bariah, Chairul. 2001. Hak-Hak Politik Perempuan Di Indonesia Dalam Perlindungan

Hak Asasi Manusia (HAM), dalam Citra Justicia, Vol. II Nomor 1 Juli 2001

Harkrisnowo, Harkristuti. 2003. Rekonstruksi Konsep Pemidanaan : Suatu Gugatan

Terhadap Proses Legislasi dan Pemidanaan di Indonesia. Jakarta

Jones, Gavin W. 1985. Masalah Urbanisasi di Indonesia. Jakarta: Lembaga Demografi

FE UI

Kartono, Dr. Kartini. 1981. Patologi Sosial. Jakarta: Rajawali Pers

Kusumah, Mulyana W. 1992. Kejahatan dan Kekerasan-Kekerasan Di Sekitar Kita,

Bahan, No. 1 Tahun IV. Jakarta.

Sunaryo, Thomas. 1987,.Studi Tentang Hubungan Kerja Dalam Lokalisasi Pelacuran,

Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Universitas Indonesia.

Widiyanti, Ninik dan Panji Anoraga. 1987. Perkembangan Kejahatan dan Masalahnya

Ditinjau Dari Segi Kriminologi dan Sosial, Cetakan Pertama. Jakarta:

Pradnya Paramita

Internet

ejournal.unud.ac.id/abstrak/artikel%20skw%20(pelacuran).pdf

jurnal.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/7208150164.pdf

http://www.freewebs.com/pencabulan_pada_anak/investigasihukum.htm

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/19987/4/Chapter%20I.pdf

LAMPIRAN

Teknis Pelaksanaan Presentasi “Sex Tourism” dalam tema Trans-national Crime

Oleh : Edi Miranto (08430003)

M. Endry Saputra (08430007)

Sesi 1: Simulasi (drama)

Dalam sesi pertama ini presenter akan mengajak audiens untuk melakukan simulasi berupa drama dengan cerita yang memuat materi presentasi dengan tujuan agar audiens dapat terlibat secara langsung dan dapat memahami materi lebih dalam. Dalam simulasi (drama) ini presenter akan menjadi pemain yang nanti juga bertugas mengarahkan cerita secara bergantian. Sesi ini akan berlangsung selama + 15 menit.

Pemain+narator : Edi sebagai Pah Poh, Endry sebagai Petugas

Pemain tambahan (audiens) : 1 orang sebagai Mr. X (turis), 3-4 orang sebagai “guide

Alur Cerita:

Mr. X adalah seorang turis asal Amerika Serikat yang sedang berlibur ke Kamboja yang juga merupakan kunjungan pertamanya di negara di kawasan Asia. Mr. X pergi ke Kamboja setelah bercerai dari isterinya dan berniat untuk menenangkan diri sehingga memutuskan pergi berlibur dan mencari suasana baru. Setibanya di Kamboja Mr. X bingung menentukan tempat wisata yang akan dituju dan akhirnya dia bertanya kepada penduduk setempat. Seorang penduduk bernama Pah Poh kemudian menawarkan sebuah “paket wisata” kepada Mr. X. Mr. X menerima penawaran tersebut sehingga dibawalah Mr. X ke sebuah tempat oleh Pah Poh.

Dalam perjalanan ke tempat itu Pah Poh menjelaskan lebih jauh mengenai “tempat wisata” seperti apa yang akan dikunjungi dengan segala kesenangan yang ada di tempat tersebut. Setibanya di tempat tujuan Pah Poh mulai memberikan “paket wisata” yang dijanjikan. Pah Poh memanggil beberapa orang “putrinya” (berumur 5-10 tahun) untuk menemani Mr. X berlibur di Kamboja. Mr. X kemudian diminta untuk memilih gadis mana yang akan diajaknya “berwisata” dengan membayar biaya berkisar antara 3-20 USD kepada Pah Poh. Setelah Mr. X memilih gadis yang akan menjadi “guide”nya, segera saja Mr. X diajak menuju tempat wisata sesungguhnya yaitu “Brothel”. Brothel adalah tempat di mana turis seperti Mr. X dapat melakukan seks dengan gadis di bawah umur yang tadi dibawanya. Setelah puas berwisata dengan gadis tersebut (dan beberapa gadis yang lain beberapa hari kemudian) Mr. X kembali ke Amerika dengan membawa cerita serta pengalaman barunya dalam menikmati wisata d Kamboja.

Setelah kejadian tersebut Mr. X kemudian menjadi sering kembali ke Asia untuk menjelajahi “tempat wisata” lain yang sejenis. Kali ini Mr. X mencoba mencari tempat wisata sejenis bersama Mr. Z di Thailand dan menemukannya di daerah Chiang Mai. Cara yang ditawarkan di sana berbeda dengan yang ada di Kamboja. Di Thailand, para turis seperti Mr. X dan Mr. Z harus mencari sendiri “guide” yang diinginkan untuk menemani mereka berwisata. Cara mencari tahu bahwa seseorang adalah “guide” atau bukan adalah dengan menunggu sampai di atas pukul 10 malam. Karena seorang anak (usia 10-18 tahun) yang masih berkeliaran pada jam tersebut kemungkinan besar adalah “guide”. Setelah mengidentifikasi seseorang adalah “guide” langkah selanjutnya yang perlu dilakukan oleh Mr. X dan Mr. Z adalah melakukan tawar menawar. Setelah kedua sepakat maka “guide” dapat langsung dibawa ke hotel untuk “berwisata”.

Akan tetapi rupanya kali ini Mr. X dan Mr. Z sedang mengalami kesialan. Mr. X dan Mr. Z membawa “guide”nya masing-masing ke sebuah hotel yang sudah bekerjasama dengan FRIENDS. FRIENDS adalah sebuah NGO dari Uni Eropa yeng concern terhadap permasalahan-permasalahan prostitusi di Thailand dan Kamboja. Hotel yang bekerjasama dengan FRIENDS menerapkan pemeriksaan yang ketat terhadap para tamu (terutama turis mancanegara) yang menginap dengan anak-anak. Jika terbukti bahwa tamu tersebut bukan keluarga dari anak yang bersamanya maka tamu tersebut akan ditangkap. Mr. X dan Mr. Z juga tidak luput dari pemeriksaan tersebut. Mereka berdua kemudian terbukti bukan sebagai keluarga dari anak yang bersamanya dan akhirnya ditangkap oleh yang berwajib.

(selesai)

Sesi 2: Pemutaran Film

Dalam sesi kedua ini presenter akan menayangkan beberapa cuplikan berupa audio visual yang menjelaskan tentang sex tourism yang ada di dua negara ASEAN yaitu Kamboja dan Thailand yang bertujuan untuk memperdalam pemahaman terhadap materi yang telah disimulasikan pada sesi 1. Sesi kedua ini akan berlangsung selama + 15 menit

(selesai)

Sesi 3: Pemaparan

Dalam sesi ketiga ini presenter akan menjelaskan materi tentang sex trafficking dengan memberikan contoh kasus yang terjadi di beberapa negara di ASEAN. Pemaparan ini bertujuan untuk menambah pengetahuan mengenai sex trafficking dan kaitannya dengan krisis ekonomi secara khusus dengan memberikan penjelasan-penjelasan tambahan yang belum termuat dalam sesi 1 dan 2. Sesi ketiga ini akan berlangsung selama + 15 menit.

(selesai)

Sesi 4: Diskusi (tanya-jawab)

Dalam sesi terakhir ini presenter memberikan kesempatan bagi audiens untuk berdiskusi baik dengan mengajukan pertanyaan maupun pernyataan-pernyataan mengenai sex trafficking yang disebabkan oleh krisis ekonomi. Diskusi ini merupakan salah satu bentuk brainstorming bagi presenter dan audiens yang bertujuan untuk mengkaji materi secara komprehensif. Sesi keempat akan berlangsung selama 30 menit.

(selesai)



[1] ejournal.unud.ac.id/abstrak/artikel%20skw%20(pelacuran).pdf diakses pada 14 Desember 2010, pukul 19.30 WIB

[2] ibid

[3] jurnal.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/7208150164.pdf diakses pada 14 Desember 2010, pukul 20.00 WIB

[4] ibid

[5] ibid

[6] http://www.freewebs.com/pencabulan_pada_anak/investigasihukum.htm diakses pada 14 Desember 2010, pukul 20.00 WIB

[7] ibid

[8] ibid

[9] http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/19987/4/Chapter%20I.pdf diakses pada 14 Desember 2010, pukul 21.00 WIB

STUDI KAWASAN AMERIKA UTARA KRISIS SUBPRIME MORTGAGE DI AMERIKA SERIKAT TAHUN 2008

oleh: Mukhamad Endry Saputra
Mahasiswa Prodi Ilmu Hubungan Internasional Universitas Slamet Riyadi Surakarta

BAB I

PENDAHULUAN

  1. Latar Belakang

Pasca Perang Dingin Amerika Serikat telah menjelma sebagai satu-satunya negara adidaya yang menguasai hampir seluruh aspek kehidupan di dunia.mulai dari politik, militer, hingga ekonomi. Rentan waktu antara 1991-2001 adalah masa-masa keemasan Amerika Serikat di mana negara tersebut memiliki perekonomian yang sangat kuat. Hal ini membuat Amerika merajai perekonomian di hampir seluruh dunia. Keberhasilan Amerika ini tidak lepas dari peran swasta yang mendominasi kehidupan perekonomian di dalam Amerika Serikat yang akhirnya mempengaruhi perekonomian dunia.

Amerika Serikat adalah negara yang paling berperan dalam pembuatan kebijakan ekonomi dunia. Amerika Serikat juga merupakan inisiator dari banyak pertemuan di dunia yang membahas tentang permasalahan ekonomi mulai dari GATT, putaran Uruguay, G-7, dan yang paling baru adalah G-20. Bisa dikatakan juga bahwa kini Amerika Serikat adalah negara yang memimpin rejim perekonomian dunia (melalui WTO, IMF, dan World Bank).

Perdagangan internasional baik sektor riil maupun non riil mulai dari jual-beli saham, obligasi, hingga bisnis properti tak dapat lepas dari pengaruh Amerika Serikat. Mengingat hal-hal tersebut di atas, tak ayal jika masalah di Amerika Serikat akan berpengaruh terhadap banyak negara di dunia. Salah satunya dari sekian banyak masalah Amerika Serikat yang berpengaruh terhadap perekonomian dunia adalah krisis subprime mortgage yang terjadi pada tahun 2008. Akibat krisis kredit perumahan ini terhadap perekonomian dunia seolah semakin mempertegas pengaruh Amerika Serikat di dunia.

Banyak yang tidak menyangka bahwa Amerika Serikat yang merupakan negara besar dapat terkena krisis ekonomi. Beberapa kalangan berpendapat bahwa ini adalah akibat dari kesalahan kebijakan yang diambil, ada pula sebagian yang melihat masalah ini sebagai akibat dari gaya hidup masyarakat Amerika Serikat yang senang berkredit. Makalah ini akan menjelaskan secara singkat mengenai krisis subprime mortgage yang terjadi di Amerika serikat mulai dari penyebab hingga akibat apa yang ditimbulkannya baik di Amerika Serikat maupun beberapa negara di dunia.

  1. Rumusan Masalah

Dalam makalah ini penulis berusaha merumuskan masalah sebagai berikut:

1. Apa yang dimaksud dengan krisis Subprime Mortgage dan mengapa krisis tersebut bisa terjadi di Amerika Serikat?

2. Apa dampak krisis Subprime Mortgage bagi Amerika Serikat dan Dunia?

3. Apa yang dilakukan Bank Sentral Amerika Serikat untuk memulihkan perekonomian di Amerika Serikat?

  1. Landasan Dasar Teori

Untuk dapat menjawab rumusan masalah di atas, penulis akan menggambarkan secara singkat tentang kronologis terjadinya krisis subrime mortgage di Amerika serikat. Selain itu permasalahan krisis subprime mortgage di Amerika Serikat ternyata tidak hanya berpengaruh pada perekonomian domestik Amerika Serikat saja. Permasalahan ini juga merambat ke beberapa negara di dunia. Oleh karena itu untuk mengetahui hubungan antara krisis di Amerika dengan perekonomian di beberapa negara penulis juga mencoba menganalisa permasalahan ini dengan menggunakan teori ketergantungan. Teori ketergantungan yaitu teori yang menyatakan bahwa negara bukan aktor independen secara keseluruhan karena saling tergantung dengan negara lain. Interdependensi sebenarnya merupakan turunan dari perspektif liberalisme yang terdapat dalam studi hubungan internasional.[1]

BAB II

PEMBAHASAN

  1. Pengertian

Krisis adalah situasi yang merupakan titik balik (turning point) yang dapat membuat suatu keadaan bertambah baik atau bertambah buruk. Jika merujuk pada istilah ekonomi, krisis dapat diartikan sebagai perubahan tajam menuju resesi.[2] Sedangkan Subprime Mortgage adalah paket kredit kepemilikan rumah yang ditujukan untuk orang-orang miskin Amerika.[3] Jadi dapat ditarik pengertian bahwa krisis subprime mortgage adalah resesi yang disebabkan oleh paket kredit perumahan.

  1. Asal Mula Terjadinya Krisis Subprime Mortgage

Krisis subrime mortgage bermula sejak tahun 2001. Pada 2001-2005, pertumbuhan perumahan di Amerika Serikat menggelembung seiring rendahnya suku bunga perbankan akibat bangkrutnya indutri dotcom yang sejak 1995, industri dotcom (saham-saham teknologi) di AS lebih dulu booming, namun bangkrut dan menyebabkan banyak perusahaan jenis ini tak mampu membayar pinjaman ke bank.

Untuk menyelamatkan mereka, The Fed (Bank sentral Amerika Serikat) menurunkan suku bunga, sehingga suku bunga menjadi rendah. Suku bunga yang rendah dimanfaatkan pengembang dan perusahaan pembiayaan perumahan untuk membangun perumahan murah dan menjualnya melalui skema subprime mortgage. Gelembung perumahan ini terjadi di banyak negara bagian, seperti California, Florida, New York, dan banyak negara bagian di barat daya. Saat bisnis perumahan mulai booming pada tahun 2001, banyak warga AS yang hanya memiliki uang pas-pasan membeli rumah murah melalui skema subprime mortgage.

Pada tahun 2006, ketika koreksi pasar mulai menyentuh gelembung bisnis perumahan di AS, Robert Shiller (ekonom Universitas Yale) memperingatkan bahwa harga rumah akan naik melebihi aslinya. Menurutnya koreksi pasar ini, bisa berlangsung tahunan dan menyebabkan penurunan nilai rumah-rumah tersebut hingga miliaran dolar AS. Peringatan itu mulai terbukti ketika pada akhir 2006 sebanyak 2,5 juta warga AS yang membeli rumah melalui skema tadi tak mampu membayar cicilan. Harga rumah yang mereka kredit melambung tinggi, bahkan ada yang sampai 100% dari nilai awalnya. Akibatnya, menurut laporan perusahaan penyedia data penyitaan rumah di AS, RealtyTrac, sebanyak itu pula, rumah yang akan disita dari penduduk AS. RealtyTrac mencatat pengumuman lelang sebanyak 179.599 yang mencakup 2,5 juta rumah yang dinyatakan disita karena gagal bayar. Ini adalah jumlah penyitaan terbanyak selama 37 tahun. Penyitaan besar-besaran ini jelas dapat menimbulkan banyak warga AS menjadi tuna wisma mendadak, dan bisa menjadi masalah sosial baru.

Tidak semua warga negara AS memiliki uang yang cukup untuk membeli rumah atau memiliki sejarah kredit yang baik. Kebanyakan dari mereka adalah pengangguran, pekerja-pekerja seperti office boy, pedagang kecil, dan pembersih rumah atau kantor Sebenarnya, mereka dianggap tidak layak mendapatkan pinjaman untuk memiliki rumah murah, karena sejarah kreditnya kurang baik dan tidak memiliki pendapatan yang cukup untuk mencicil. Untuk itulah diadakan subprime mortgage.

Pembiayaan jenis ini sebenarnya berisiko, baik bagi kreditor maupun debitor, karena bunganya yang tinggi, sejarah kredit peminjam yang buruk, dan kemampuan keuangan peminjam yang rendah. Meskipun tergolong kredit berisiko tinggi, bank investasi dan hedge fund (HF) tetap memainkan instrumen ini, karena para investor dari golongan pemain baru banyak yang tertarik membeli Mortgage-Backed Securities (MBS).[4]

Akibatnya, menjelang 2007, pembeli rumah dengan skema ini tak sanggup mencicil kredit rumah murah tersebut lantaran semakin sulitnya perekonomian AS. Ketika ini terjadi, satu-satunya jaminan bagi MBS adalah rumah-rumah itu sendiri. Namun, karena penawaran perumahan ternyata melebihi permintaan seiring gelembung industri perumahan dalam 2001-2005, nilai rumah-rumah itupun turun, tidak sesuai lagi dengan nilai yang dijaminkan dalam MBS. Sementara bank investasi dan HF harus tetap memberi pendapatan berupa bunga kepada para investornya. Inilah asal mula terjadinya krisis subprime mortgage yang berimbas ke seluruh dunia.

  1. Aktor-aktor Penyebab Krisis Subprime Mortgage

Krisis subrime mortgage tidak terjadi begitu saja, banyak aktur yang menyebabkan krisis ini terjadi. Di bawah ini adalah aktor-aktor yang ikut menyebabkan terjadinya krisis subrime mortgage dan sedikit penjelasan mengenai apa yang mereka lakukan sehingga krisis tersebut terjadi di Amerika Serikat.

1. Kreditor Perumahan Murah

Banyak perusahaan di AS yang memiliki spesialisasi memberikan kredit perumahan bagi orang-orang yang sebenarnya tidak layak diberi kredit. Para perusahaan tersebut berani memberikan kredit karena jika terjadi gagal bayar, perusahaan tersebut tinggal menyita dan menjual kembali rumah yang dikreditkan. Untuk membiayai kredit ini para perusahaan ini umumnya juga meminjam dari pihak lain dengan jangka waktu kredit yang pendek sekitar 1-2 tahun. Padahal kredit yang dibiayai merupakan kredit perumahan jangka panjang sampai 20 tahun. Sehingga terjadi ketimpangan kredit.

Akibat gagal membayar kredit perumahan tersebut, banyak perusahaan kredit perumahan ini tidak mampu membayar kembali utangnya yang mengakibatkan kebangkrutan beberapa perusahaan tersebut. Saham perusahaan lain yang tidak mengalami kebangkrutan juga terkena dampak sentimen negatif dan membuat takut investor.

2. Perusahaan Pemeringkat

Perusahaan pemeringkat adalah perusahaan yang bertugas untuk mengevaluasi obligasi atau instrumen utang lainnya dan memberikan rating yang mencerminkan risiko instrumen utang tersebut. Perusahaan-perusahaan pemeringkat ini dinilai terlalu lamban mengantisipasi bahaya gagal bayar utang kredit perumahan. Dalah satu contoh perusahaan pemeringkat adalah Moody’s dan Standard and Poor’s.

3. Investment Banks (Bank Investasi)

Investmen Banks seperti memiliki spesialisasi mengembangkan instrumen investasi seperti EBA yang dijual ke perbankan dan institusi keuangan. Investment Banks ini juga terkena imbas dan merugi di beberapa dana investasinya yang terkait dengan utang berisiko tinggi. Beberapa contoh investment banks antara lain adalah Goldmas Sachs, Bear Strearns dan Morgan Stanley.

Bank sentral dan private equity fund dicatat sebagai pihak yang paling besar terkena imbas krisis ini.[5] Mereka umumnya meminjam uang dengan bunga rendah yang digunakan untuk membeli saham di bursa. Saham yang dibeli umumnya dijaga performanya agar menarik minat investor lain untuk membeli. Saham tersebut akan dijual setelah harganya tingginya dalam waktu yang tidak lama.

Sedangkan bank sentral dunia seperti Bank of England (BoE), US Federal Reserve (The Fed) dan European Central Bank (ECB) sebagai pihak yang merancang tingkat suku bunga demi mengontrol inflasi dan menjaga pertumbuhan ekonomi. Kebijakan tingkat bunga rendah itulah yang memicu pasar untuk melakukan investasi besar di perumahan. Namun kini bank sentral harus menggelontorkan banyak dana ke pasar untuk menyuplai kebutuhan dana kas yang besar.

  1. Dampak Krisis Subprime Mortgage

1. Bagi Amerika Serikat

Krisis subprime mortgage mengakibatkan terpuruknya harga saham-saham yang bergerak dalam bidang properti di bursa New York. Keterpurukan ini adalah akibat kepanikan para investor setelah menyebar berita terpuruknya subprime mortgage di Amerika Serikat di mana kerugiannya sendiri ditaksir ada sekitar $35 trilyun.. BNP Paribas yang merupakan salah satu bank terbesar di Eropa (berasal dari Prancis) dan sebuah bank Jerman (IKB Deutsche Industriebank) mengalami masalah terhadap investasi EBA subprime mortgage di Amerika.[6]

Karena perusahaan yang bergerak di bidang properti berjumlah sekitar 1/3 dari kapitalisasi pasar Wall Street, maka koreksi besar-besaranpun terjadi hingga berimbas pada koreksi saham non properti. Koreksi ini menyebabkan kepanikan para investor yang kemudian mulai berpikir untuk mencari alternatif alat investasi yang aman antara lain via deposito di bank dan investasi di obligasi pemerintah.

Tak heran jika koreksi besar-besaran di Wall Street ini menyebabkan kebangkrutan bagi banyak perusahaan di Amerika Serikat mengingat sebagian besar perusahaan di Amerika Serikat adalah perusahaan go public yang melepaskan sahamnya di Wall Street. Kebangkrutan ini pasti berimbas pada pengurangan jumlah tenaga kerja yang secara otomatis juga berimbas pada hasil produksi yang semakin menurun baik secara kualitas maupun kuantitas.

2. Bagi Dunia

Pemilik surat utang subprime mortgage (MBS) bukan hanya perbankan di Amerika Serikat, tapi juga perbankan di Australia, Cina, India, Taiwan, dan negara-negara lainnya. Dampaknya, harga saham perbankan di seluruh dunia ikut jatuh. Halini menyebabkan kekhawatiran para pelaku pasar, karena bermasalahnya bank akan berdampak pada melemahnya kegiatan perekonomian.

Peraturan Bank Indonesia tidak memungkinkan perbankan membeli surat utang berperingkat rendah sehingga perbankan Indonesia tidak memiliki surat utang subprime mortgage. Akan tetapi, karena harga saham perbankan di negara tetangga jatuh, investor asing juga menjual saham perbankan dan nonperbankan di Indonesia. Investor lokal akhirnya juga ikut melakukan aksi jual. Apalagi harga saham dan harga obligasi di Indonesia sudah naik banyak, maka investor pun melakukan aksi ambil untung. Inilah yang menyebabkan harga saham turun, imbal hasil obligasi naik (harga turun) dan kurs rupiah melemah. Sterilnya perbankan dan korporasi Indonesia dari kepemilikan subprime mortgage menyebabkan dampak krisis pada pasar keuangan domestik berupa pelepasan surat berharga domestik terutama SUN dan SBI oleh investor asing.[7]

Di Asia pasar saham Asia jatuh setelah UBS AG memprediksikan bahwa perusahaan keuangan global kemungkinan akan kehilangan sekitar US$ 600 miliar karena kredit macet hipotek perumahan subprime mortgage di Amerika Serikat. Westpac Banking Corp. merugi 3,3 persen sedangkan Macquarie Group Ltd. kembali tergelincir di hari ketiga. Pemasukan uang dalam perdagangan Amerika menurun 4,7 persen dari penutupan saham di Tokyo 29 Februari 2008, dimana Sony Corp. rugi 3,6 persen, setelah Yen menguat terhadap dolar, sehingga mengurangi pendapatan di luar negeri. Index Australia anjlok S&P/ASX 200 hingga 2,9 persen menjadi 5,410.90 pada pukul 10.12 di Sydney. Index New Zealand’s NZX 50, yang menjadi patokan Asia untuk memulai perdagangan, turun 1,1 persen menjadi 3,542.16 di Wellington.[8] Di hampir seluruh bursa saham di dunia terjadi hal yang sama. Pergerakan modal yang tidak menentu ini berimbas pada penurunan daya beli yang selanjutnya mempengaruhi ekspor-impor di banyak komoditas. Di Eropa terjadi banyak protes dari serikat buruh yang menuntut kenaikan gaji untuk mengimbangi penurunan daya beli yang terjadi di hampir seluruh negara di Eropa.

  1. Kebijakan Bank Sentral terkait Subprime Mortgage

Krisis Subprime Mortgage yang terjadi di Amerika Serikat menginfeksi bursa saham di seluruh dunia dan mengancam stabilitas banyak mata uang di dunia. Selain USD yang menjadi labil, sejumlah mata uang lain juga sempat jatuh. Diperlukan intervensi kebijakan dari bank sentral Amerika (The Fed) untuk menstabilkan pasar. Karena The Fed bertanggung jawab menjaga kinerja ekonomi jangka panjang dan kestabilan harga-harga di Amerika Serikat.

Untuk mengatasi kekurangan likuiditas di pasar modal, bank sentral beberapa negara-negara maju yang bursanya terkait dengan industri subprime mortgage menggelontorkan dana ke pasar uang (open market operations) dengan memasuki transaksi Repo (Repurchase Agreement). Ini untuk menjaga stabilitas nilai tukar mereka dan menumbuhkan sentimen positif terhadap bursanya. Diawali pada 9 Agustus 2007, The Fed mengeluarkan USD 30 miliar untuk menjaga likuiditas investor subprime mortgage yang merugi. Pada 10 Agustus, The Fed menambahnya USD 36 miliar. Penambahan ini terus berlangsung hingga 16 Agustus 2007, dan mencapai jumlah USD 29 miliar.

Untuk memulihkan stabilitas, The Fed juga menyuntikkan dana ke sistem perbankan dan keuangannya. Pada 9-10 Agustus, The Fed menyuntikkan USD 24 dan 68 miliar. Di Eropa, pada 10 Agustus 2007 The European Central Bank (ECB) menyuntikkan dana USD 61 miliar. Pada 13 Agustus, ECB menambah lagi USD 47,67 miliar, dan di Jepang, The Bank of Japan (BoJ) menyuntikkan dana 600 miliar Yen.

Selain itu, mengingat pemicu utama kredit macet subprime mortgage adalah bunga yang tinggi, maka pada 17 Agustus 2007 The Fed menurunkan suku bunga diskonto hingga 50 basis poin menjadi 5,75%. Langkah ini lalu diikuti penyesuaian praktek discount window biasa untuk memfasilitasi persyaratan terkait periode pemberian pinjaman selama 30 hari yang dapat diperbarui oleh nasabah peminjam.

BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Krisis subprime mortgage di Amerika Serikat disebabkan oleh ketidakmampuan para kreditor perumahan untuk membayar kreditnya. Hal ini berimbas pada kebangkrutan perusahaan properti yang ditandai dengan jatuhnya harga saham di Wall Street. Koreksi besar-besaran di Wall Street kemudian mempengaruhi alur permodalan pasar saham di hampir seluruh dunia. Bank Sentral di beberapa negara maju ikut serta dalam mengatasi krisis ini dengan menggelontorkan dana talangan bagi beberapa perusahaan yang memenuhi syarat untuk mendapatkan bailout tersebut.

Daftar Pustaka

DR. Anak Agung Banyu Perwita dan DR. Yanyan Mochammad Yani. Pengantar Ilmu Hubungan Inetrnasional. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya. 2006. Hal.77-78

http://id.wikipedia.org/wiki/krisis diakses pada 26 Oktober 2010, pukul 20.39 WIB.

http://gatosoideas.blogspot.com/2007/08/faq-krisis-subprime-mortgage.html diakses pada 2 November 2010, pukul 22.19 WIB.

http://www.jualanbuku.com/2008/10/12/krisis-amerika-sebuah-analisa/ diakses pada 26 Oktober 2010, pukul 22.06 WIB.

http://www.jualanbuku.com/2008/09/30/krisis-ekonomi-amerika-serikat-mengapa/ diaekses pada 26 Oktober 2010, pukul 20.55 WIB.

http://petikdua.wordpress.com/2010/04/18/krisis-ekonomi-global-2008-2009/ diakses pada 26 Oktober 2010, pukul 21.03 WIB.


[1] DR. Anak Agung Banyu Perwita dan DR. Yanyan Mochammad Yani. Pengantar Ilmu Hubungan Inetrnasional. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya. 2006. Hal.77-78

[2] http://id.wikipedia.org/wiki/krisis diakses pada 26 Oktober 2010, pukul 20.39 WIB.

[4] MBS merupakan kumpulan utang yang dikumpulkan oleh pemberi pinjaman atau subrime leaders yang kemudian dijual kepada investor di seluruh dunia seperti bank komersial, perusahaan asuransi, maupun investor perorangan.

[5] Private equity fund adalah manajer investasi yang merancang pembelian dan penjualan perusahaan.

[7] http://www.jualanbuku.com/2008/10/12/krisis-amerika-sebuah-analisa/ diakses pada 26 Oktober 2010, pukul 22.06 WIB.

[8] http://www.jualanbuku.com/2008/10/12/krisis-amerika-sebuah-analisa/ diakses pada 26 Oktober 2010, pukul 22.06 WIB.