Cari Blog Ini

Sabtu, 18 Juni 2011

STUDI KAWASAN AMERIKA UTARA KRISIS SUBPRIME MORTGAGE DI AMERIKA SERIKAT TAHUN 2008

oleh: Mukhamad Endry Saputra
Mahasiswa Prodi Ilmu Hubungan Internasional Universitas Slamet Riyadi Surakarta

BAB I

PENDAHULUAN

  1. Latar Belakang

Pasca Perang Dingin Amerika Serikat telah menjelma sebagai satu-satunya negara adidaya yang menguasai hampir seluruh aspek kehidupan di dunia.mulai dari politik, militer, hingga ekonomi. Rentan waktu antara 1991-2001 adalah masa-masa keemasan Amerika Serikat di mana negara tersebut memiliki perekonomian yang sangat kuat. Hal ini membuat Amerika merajai perekonomian di hampir seluruh dunia. Keberhasilan Amerika ini tidak lepas dari peran swasta yang mendominasi kehidupan perekonomian di dalam Amerika Serikat yang akhirnya mempengaruhi perekonomian dunia.

Amerika Serikat adalah negara yang paling berperan dalam pembuatan kebijakan ekonomi dunia. Amerika Serikat juga merupakan inisiator dari banyak pertemuan di dunia yang membahas tentang permasalahan ekonomi mulai dari GATT, putaran Uruguay, G-7, dan yang paling baru adalah G-20. Bisa dikatakan juga bahwa kini Amerika Serikat adalah negara yang memimpin rejim perekonomian dunia (melalui WTO, IMF, dan World Bank).

Perdagangan internasional baik sektor riil maupun non riil mulai dari jual-beli saham, obligasi, hingga bisnis properti tak dapat lepas dari pengaruh Amerika Serikat. Mengingat hal-hal tersebut di atas, tak ayal jika masalah di Amerika Serikat akan berpengaruh terhadap banyak negara di dunia. Salah satunya dari sekian banyak masalah Amerika Serikat yang berpengaruh terhadap perekonomian dunia adalah krisis subprime mortgage yang terjadi pada tahun 2008. Akibat krisis kredit perumahan ini terhadap perekonomian dunia seolah semakin mempertegas pengaruh Amerika Serikat di dunia.

Banyak yang tidak menyangka bahwa Amerika Serikat yang merupakan negara besar dapat terkena krisis ekonomi. Beberapa kalangan berpendapat bahwa ini adalah akibat dari kesalahan kebijakan yang diambil, ada pula sebagian yang melihat masalah ini sebagai akibat dari gaya hidup masyarakat Amerika Serikat yang senang berkredit. Makalah ini akan menjelaskan secara singkat mengenai krisis subprime mortgage yang terjadi di Amerika serikat mulai dari penyebab hingga akibat apa yang ditimbulkannya baik di Amerika Serikat maupun beberapa negara di dunia.

  1. Rumusan Masalah

Dalam makalah ini penulis berusaha merumuskan masalah sebagai berikut:

1. Apa yang dimaksud dengan krisis Subprime Mortgage dan mengapa krisis tersebut bisa terjadi di Amerika Serikat?

2. Apa dampak krisis Subprime Mortgage bagi Amerika Serikat dan Dunia?

3. Apa yang dilakukan Bank Sentral Amerika Serikat untuk memulihkan perekonomian di Amerika Serikat?

  1. Landasan Dasar Teori

Untuk dapat menjawab rumusan masalah di atas, penulis akan menggambarkan secara singkat tentang kronologis terjadinya krisis subrime mortgage di Amerika serikat. Selain itu permasalahan krisis subprime mortgage di Amerika Serikat ternyata tidak hanya berpengaruh pada perekonomian domestik Amerika Serikat saja. Permasalahan ini juga merambat ke beberapa negara di dunia. Oleh karena itu untuk mengetahui hubungan antara krisis di Amerika dengan perekonomian di beberapa negara penulis juga mencoba menganalisa permasalahan ini dengan menggunakan teori ketergantungan. Teori ketergantungan yaitu teori yang menyatakan bahwa negara bukan aktor independen secara keseluruhan karena saling tergantung dengan negara lain. Interdependensi sebenarnya merupakan turunan dari perspektif liberalisme yang terdapat dalam studi hubungan internasional.[1]

BAB II

PEMBAHASAN

  1. Pengertian

Krisis adalah situasi yang merupakan titik balik (turning point) yang dapat membuat suatu keadaan bertambah baik atau bertambah buruk. Jika merujuk pada istilah ekonomi, krisis dapat diartikan sebagai perubahan tajam menuju resesi.[2] Sedangkan Subprime Mortgage adalah paket kredit kepemilikan rumah yang ditujukan untuk orang-orang miskin Amerika.[3] Jadi dapat ditarik pengertian bahwa krisis subprime mortgage adalah resesi yang disebabkan oleh paket kredit perumahan.

  1. Asal Mula Terjadinya Krisis Subprime Mortgage

Krisis subrime mortgage bermula sejak tahun 2001. Pada 2001-2005, pertumbuhan perumahan di Amerika Serikat menggelembung seiring rendahnya suku bunga perbankan akibat bangkrutnya indutri dotcom yang sejak 1995, industri dotcom (saham-saham teknologi) di AS lebih dulu booming, namun bangkrut dan menyebabkan banyak perusahaan jenis ini tak mampu membayar pinjaman ke bank.

Untuk menyelamatkan mereka, The Fed (Bank sentral Amerika Serikat) menurunkan suku bunga, sehingga suku bunga menjadi rendah. Suku bunga yang rendah dimanfaatkan pengembang dan perusahaan pembiayaan perumahan untuk membangun perumahan murah dan menjualnya melalui skema subprime mortgage. Gelembung perumahan ini terjadi di banyak negara bagian, seperti California, Florida, New York, dan banyak negara bagian di barat daya. Saat bisnis perumahan mulai booming pada tahun 2001, banyak warga AS yang hanya memiliki uang pas-pasan membeli rumah murah melalui skema subprime mortgage.

Pada tahun 2006, ketika koreksi pasar mulai menyentuh gelembung bisnis perumahan di AS, Robert Shiller (ekonom Universitas Yale) memperingatkan bahwa harga rumah akan naik melebihi aslinya. Menurutnya koreksi pasar ini, bisa berlangsung tahunan dan menyebabkan penurunan nilai rumah-rumah tersebut hingga miliaran dolar AS. Peringatan itu mulai terbukti ketika pada akhir 2006 sebanyak 2,5 juta warga AS yang membeli rumah melalui skema tadi tak mampu membayar cicilan. Harga rumah yang mereka kredit melambung tinggi, bahkan ada yang sampai 100% dari nilai awalnya. Akibatnya, menurut laporan perusahaan penyedia data penyitaan rumah di AS, RealtyTrac, sebanyak itu pula, rumah yang akan disita dari penduduk AS. RealtyTrac mencatat pengumuman lelang sebanyak 179.599 yang mencakup 2,5 juta rumah yang dinyatakan disita karena gagal bayar. Ini adalah jumlah penyitaan terbanyak selama 37 tahun. Penyitaan besar-besaran ini jelas dapat menimbulkan banyak warga AS menjadi tuna wisma mendadak, dan bisa menjadi masalah sosial baru.

Tidak semua warga negara AS memiliki uang yang cukup untuk membeli rumah atau memiliki sejarah kredit yang baik. Kebanyakan dari mereka adalah pengangguran, pekerja-pekerja seperti office boy, pedagang kecil, dan pembersih rumah atau kantor Sebenarnya, mereka dianggap tidak layak mendapatkan pinjaman untuk memiliki rumah murah, karena sejarah kreditnya kurang baik dan tidak memiliki pendapatan yang cukup untuk mencicil. Untuk itulah diadakan subprime mortgage.

Pembiayaan jenis ini sebenarnya berisiko, baik bagi kreditor maupun debitor, karena bunganya yang tinggi, sejarah kredit peminjam yang buruk, dan kemampuan keuangan peminjam yang rendah. Meskipun tergolong kredit berisiko tinggi, bank investasi dan hedge fund (HF) tetap memainkan instrumen ini, karena para investor dari golongan pemain baru banyak yang tertarik membeli Mortgage-Backed Securities (MBS).[4]

Akibatnya, menjelang 2007, pembeli rumah dengan skema ini tak sanggup mencicil kredit rumah murah tersebut lantaran semakin sulitnya perekonomian AS. Ketika ini terjadi, satu-satunya jaminan bagi MBS adalah rumah-rumah itu sendiri. Namun, karena penawaran perumahan ternyata melebihi permintaan seiring gelembung industri perumahan dalam 2001-2005, nilai rumah-rumah itupun turun, tidak sesuai lagi dengan nilai yang dijaminkan dalam MBS. Sementara bank investasi dan HF harus tetap memberi pendapatan berupa bunga kepada para investornya. Inilah asal mula terjadinya krisis subprime mortgage yang berimbas ke seluruh dunia.

  1. Aktor-aktor Penyebab Krisis Subprime Mortgage

Krisis subrime mortgage tidak terjadi begitu saja, banyak aktur yang menyebabkan krisis ini terjadi. Di bawah ini adalah aktor-aktor yang ikut menyebabkan terjadinya krisis subrime mortgage dan sedikit penjelasan mengenai apa yang mereka lakukan sehingga krisis tersebut terjadi di Amerika Serikat.

1. Kreditor Perumahan Murah

Banyak perusahaan di AS yang memiliki spesialisasi memberikan kredit perumahan bagi orang-orang yang sebenarnya tidak layak diberi kredit. Para perusahaan tersebut berani memberikan kredit karena jika terjadi gagal bayar, perusahaan tersebut tinggal menyita dan menjual kembali rumah yang dikreditkan. Untuk membiayai kredit ini para perusahaan ini umumnya juga meminjam dari pihak lain dengan jangka waktu kredit yang pendek sekitar 1-2 tahun. Padahal kredit yang dibiayai merupakan kredit perumahan jangka panjang sampai 20 tahun. Sehingga terjadi ketimpangan kredit.

Akibat gagal membayar kredit perumahan tersebut, banyak perusahaan kredit perumahan ini tidak mampu membayar kembali utangnya yang mengakibatkan kebangkrutan beberapa perusahaan tersebut. Saham perusahaan lain yang tidak mengalami kebangkrutan juga terkena dampak sentimen negatif dan membuat takut investor.

2. Perusahaan Pemeringkat

Perusahaan pemeringkat adalah perusahaan yang bertugas untuk mengevaluasi obligasi atau instrumen utang lainnya dan memberikan rating yang mencerminkan risiko instrumen utang tersebut. Perusahaan-perusahaan pemeringkat ini dinilai terlalu lamban mengantisipasi bahaya gagal bayar utang kredit perumahan. Dalah satu contoh perusahaan pemeringkat adalah Moody’s dan Standard and Poor’s.

3. Investment Banks (Bank Investasi)

Investmen Banks seperti memiliki spesialisasi mengembangkan instrumen investasi seperti EBA yang dijual ke perbankan dan institusi keuangan. Investment Banks ini juga terkena imbas dan merugi di beberapa dana investasinya yang terkait dengan utang berisiko tinggi. Beberapa contoh investment banks antara lain adalah Goldmas Sachs, Bear Strearns dan Morgan Stanley.

Bank sentral dan private equity fund dicatat sebagai pihak yang paling besar terkena imbas krisis ini.[5] Mereka umumnya meminjam uang dengan bunga rendah yang digunakan untuk membeli saham di bursa. Saham yang dibeli umumnya dijaga performanya agar menarik minat investor lain untuk membeli. Saham tersebut akan dijual setelah harganya tingginya dalam waktu yang tidak lama.

Sedangkan bank sentral dunia seperti Bank of England (BoE), US Federal Reserve (The Fed) dan European Central Bank (ECB) sebagai pihak yang merancang tingkat suku bunga demi mengontrol inflasi dan menjaga pertumbuhan ekonomi. Kebijakan tingkat bunga rendah itulah yang memicu pasar untuk melakukan investasi besar di perumahan. Namun kini bank sentral harus menggelontorkan banyak dana ke pasar untuk menyuplai kebutuhan dana kas yang besar.

  1. Dampak Krisis Subprime Mortgage

1. Bagi Amerika Serikat

Krisis subprime mortgage mengakibatkan terpuruknya harga saham-saham yang bergerak dalam bidang properti di bursa New York. Keterpurukan ini adalah akibat kepanikan para investor setelah menyebar berita terpuruknya subprime mortgage di Amerika Serikat di mana kerugiannya sendiri ditaksir ada sekitar $35 trilyun.. BNP Paribas yang merupakan salah satu bank terbesar di Eropa (berasal dari Prancis) dan sebuah bank Jerman (IKB Deutsche Industriebank) mengalami masalah terhadap investasi EBA subprime mortgage di Amerika.[6]

Karena perusahaan yang bergerak di bidang properti berjumlah sekitar 1/3 dari kapitalisasi pasar Wall Street, maka koreksi besar-besaranpun terjadi hingga berimbas pada koreksi saham non properti. Koreksi ini menyebabkan kepanikan para investor yang kemudian mulai berpikir untuk mencari alternatif alat investasi yang aman antara lain via deposito di bank dan investasi di obligasi pemerintah.

Tak heran jika koreksi besar-besaran di Wall Street ini menyebabkan kebangkrutan bagi banyak perusahaan di Amerika Serikat mengingat sebagian besar perusahaan di Amerika Serikat adalah perusahaan go public yang melepaskan sahamnya di Wall Street. Kebangkrutan ini pasti berimbas pada pengurangan jumlah tenaga kerja yang secara otomatis juga berimbas pada hasil produksi yang semakin menurun baik secara kualitas maupun kuantitas.

2. Bagi Dunia

Pemilik surat utang subprime mortgage (MBS) bukan hanya perbankan di Amerika Serikat, tapi juga perbankan di Australia, Cina, India, Taiwan, dan negara-negara lainnya. Dampaknya, harga saham perbankan di seluruh dunia ikut jatuh. Halini menyebabkan kekhawatiran para pelaku pasar, karena bermasalahnya bank akan berdampak pada melemahnya kegiatan perekonomian.

Peraturan Bank Indonesia tidak memungkinkan perbankan membeli surat utang berperingkat rendah sehingga perbankan Indonesia tidak memiliki surat utang subprime mortgage. Akan tetapi, karena harga saham perbankan di negara tetangga jatuh, investor asing juga menjual saham perbankan dan nonperbankan di Indonesia. Investor lokal akhirnya juga ikut melakukan aksi jual. Apalagi harga saham dan harga obligasi di Indonesia sudah naik banyak, maka investor pun melakukan aksi ambil untung. Inilah yang menyebabkan harga saham turun, imbal hasil obligasi naik (harga turun) dan kurs rupiah melemah. Sterilnya perbankan dan korporasi Indonesia dari kepemilikan subprime mortgage menyebabkan dampak krisis pada pasar keuangan domestik berupa pelepasan surat berharga domestik terutama SUN dan SBI oleh investor asing.[7]

Di Asia pasar saham Asia jatuh setelah UBS AG memprediksikan bahwa perusahaan keuangan global kemungkinan akan kehilangan sekitar US$ 600 miliar karena kredit macet hipotek perumahan subprime mortgage di Amerika Serikat. Westpac Banking Corp. merugi 3,3 persen sedangkan Macquarie Group Ltd. kembali tergelincir di hari ketiga. Pemasukan uang dalam perdagangan Amerika menurun 4,7 persen dari penutupan saham di Tokyo 29 Februari 2008, dimana Sony Corp. rugi 3,6 persen, setelah Yen menguat terhadap dolar, sehingga mengurangi pendapatan di luar negeri. Index Australia anjlok S&P/ASX 200 hingga 2,9 persen menjadi 5,410.90 pada pukul 10.12 di Sydney. Index New Zealand’s NZX 50, yang menjadi patokan Asia untuk memulai perdagangan, turun 1,1 persen menjadi 3,542.16 di Wellington.[8] Di hampir seluruh bursa saham di dunia terjadi hal yang sama. Pergerakan modal yang tidak menentu ini berimbas pada penurunan daya beli yang selanjutnya mempengaruhi ekspor-impor di banyak komoditas. Di Eropa terjadi banyak protes dari serikat buruh yang menuntut kenaikan gaji untuk mengimbangi penurunan daya beli yang terjadi di hampir seluruh negara di Eropa.

  1. Kebijakan Bank Sentral terkait Subprime Mortgage

Krisis Subprime Mortgage yang terjadi di Amerika Serikat menginfeksi bursa saham di seluruh dunia dan mengancam stabilitas banyak mata uang di dunia. Selain USD yang menjadi labil, sejumlah mata uang lain juga sempat jatuh. Diperlukan intervensi kebijakan dari bank sentral Amerika (The Fed) untuk menstabilkan pasar. Karena The Fed bertanggung jawab menjaga kinerja ekonomi jangka panjang dan kestabilan harga-harga di Amerika Serikat.

Untuk mengatasi kekurangan likuiditas di pasar modal, bank sentral beberapa negara-negara maju yang bursanya terkait dengan industri subprime mortgage menggelontorkan dana ke pasar uang (open market operations) dengan memasuki transaksi Repo (Repurchase Agreement). Ini untuk menjaga stabilitas nilai tukar mereka dan menumbuhkan sentimen positif terhadap bursanya. Diawali pada 9 Agustus 2007, The Fed mengeluarkan USD 30 miliar untuk menjaga likuiditas investor subprime mortgage yang merugi. Pada 10 Agustus, The Fed menambahnya USD 36 miliar. Penambahan ini terus berlangsung hingga 16 Agustus 2007, dan mencapai jumlah USD 29 miliar.

Untuk memulihkan stabilitas, The Fed juga menyuntikkan dana ke sistem perbankan dan keuangannya. Pada 9-10 Agustus, The Fed menyuntikkan USD 24 dan 68 miliar. Di Eropa, pada 10 Agustus 2007 The European Central Bank (ECB) menyuntikkan dana USD 61 miliar. Pada 13 Agustus, ECB menambah lagi USD 47,67 miliar, dan di Jepang, The Bank of Japan (BoJ) menyuntikkan dana 600 miliar Yen.

Selain itu, mengingat pemicu utama kredit macet subprime mortgage adalah bunga yang tinggi, maka pada 17 Agustus 2007 The Fed menurunkan suku bunga diskonto hingga 50 basis poin menjadi 5,75%. Langkah ini lalu diikuti penyesuaian praktek discount window biasa untuk memfasilitasi persyaratan terkait periode pemberian pinjaman selama 30 hari yang dapat diperbarui oleh nasabah peminjam.

BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Krisis subprime mortgage di Amerika Serikat disebabkan oleh ketidakmampuan para kreditor perumahan untuk membayar kreditnya. Hal ini berimbas pada kebangkrutan perusahaan properti yang ditandai dengan jatuhnya harga saham di Wall Street. Koreksi besar-besaran di Wall Street kemudian mempengaruhi alur permodalan pasar saham di hampir seluruh dunia. Bank Sentral di beberapa negara maju ikut serta dalam mengatasi krisis ini dengan menggelontorkan dana talangan bagi beberapa perusahaan yang memenuhi syarat untuk mendapatkan bailout tersebut.

Daftar Pustaka

DR. Anak Agung Banyu Perwita dan DR. Yanyan Mochammad Yani. Pengantar Ilmu Hubungan Inetrnasional. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya. 2006. Hal.77-78

http://id.wikipedia.org/wiki/krisis diakses pada 26 Oktober 2010, pukul 20.39 WIB.

http://gatosoideas.blogspot.com/2007/08/faq-krisis-subprime-mortgage.html diakses pada 2 November 2010, pukul 22.19 WIB.

http://www.jualanbuku.com/2008/10/12/krisis-amerika-sebuah-analisa/ diakses pada 26 Oktober 2010, pukul 22.06 WIB.

http://www.jualanbuku.com/2008/09/30/krisis-ekonomi-amerika-serikat-mengapa/ diaekses pada 26 Oktober 2010, pukul 20.55 WIB.

http://petikdua.wordpress.com/2010/04/18/krisis-ekonomi-global-2008-2009/ diakses pada 26 Oktober 2010, pukul 21.03 WIB.


[1] DR. Anak Agung Banyu Perwita dan DR. Yanyan Mochammad Yani. Pengantar Ilmu Hubungan Inetrnasional. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya. 2006. Hal.77-78

[2] http://id.wikipedia.org/wiki/krisis diakses pada 26 Oktober 2010, pukul 20.39 WIB.

[4] MBS merupakan kumpulan utang yang dikumpulkan oleh pemberi pinjaman atau subrime leaders yang kemudian dijual kepada investor di seluruh dunia seperti bank komersial, perusahaan asuransi, maupun investor perorangan.

[5] Private equity fund adalah manajer investasi yang merancang pembelian dan penjualan perusahaan.

[7] http://www.jualanbuku.com/2008/10/12/krisis-amerika-sebuah-analisa/ diakses pada 26 Oktober 2010, pukul 22.06 WIB.

[8] http://www.jualanbuku.com/2008/10/12/krisis-amerika-sebuah-analisa/ diakses pada 26 Oktober 2010, pukul 22.06 WIB.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar