Cari Blog Ini

Sabtu, 18 Juni 2011

PERDAGANGAN PEREMPUAN: SEBAGAI FENOMENA BLACK ECONOMY (STUDI KASUS SEX TOURISM DI THAILAND DAN FILIPINA)

oleh:
Edi Miranto dan Mukhamad Endry Saputra
Mahasiswa Prodi Ilmu Hubungan Internasional Universitas Slamet Riyadi Surakarta

Latar Belakang

Timbulnya krisis ekonomi di sebuah negara menimbulkan semakin terbatasnya lapangan pekerjaan akibat berhentinya operasi sejumlah besar perusahaan sehingga menimbulkan naiknya angka pengangguran dan pada akhirnya akan menaikkan angka kemiskinan absolut.

Banyaknya kredit macet dan menurunnya perkembangan di sektor usaha menyebabkan pihak penyedia jasa keuangan seperti bank membatasi ekspansi kredit di sektor produktif dan lebih suka bermain di sektor konsumtif seperti penjualan kartu kredit. Dan ini yang kemudian memicu semakin banyaknya usaha yang bangkrut karena kekurangan modal.

Di sisi lain bisnis usaha hiburan tidak pernah mengenal kata krisis. Tempat-tempat hiburan malam misalnya tetap saja banyak dipadati pengunjung. Lokalisasi-lokalisasi pun tetap saja ramai dikunjungi para lelaki hidung belang . Bahkan akibat semakin banyaknya orang yang depresi dan stress menyebabkan tempat-tempat itu semakin ramai dikunjungi. Dan bisnis hiburan jasa seks atau pelacuran merupakan sebuah bisnis yang sangat menggiurkan, dengan omzet mencapai miliar rupiah per hari dan tidak pernah mengenal kata sepi. Tingginya pendapatan dari bisnis ini menyebabkan pelakunya menjadi sangat kuat dan akhirnya membentuk sebuah jaringan kejahatan yang terorganisir dengan rapi dan nyaris tidak terjamah hukum.

Pelacuran dan Perdagangan Perempuan

Istilah pelacuran berasal dari bahasa latin pro-situere yang berarti membiarkan diri berbuat zina, melakukan persundalan, pencabulan. Sedangkan prostitue dikenal pula dengan istilah wanita tuna susila (WTS).[1]

Pelacuran merupakan profesi yang sangat tua usianya dan sering dikatakan setua umur kehidupan itu sendiri. Pelacuran ini selalu ada pada semua negara berbudaya sejak zaman purba sampai sekarang dan senantiasa menjadi masalah sosial, menjadi objek urusan hukum dan tradisi. Selanjutnya, dengan berkembangnya teknologi, industri dan kebudayaan manusia, turut berkembang pula praktek pelacuran dalam berbagai bentuk dan tingkatannya.[2]

Definisi mengenai perdagangan orang mengalami perkembangan sampai ditetapkannya Protocol to Prevent, Suppress and Punish Trafficking in Persons Especially Women and Children Suplementing the United Nation Convention Against Transnational Organized Crime tahun 2000. Dalam protokol tersebut yang dimaksudkan dengan perdagangan orang adalah: (a) ... the recruitment, transportation, transfer, harbouring or receipt of persons, by means of the threat or use of force or other forms of coercion, of abduction, of fraud, of deception, of the abuse of power or of a position of vulnerability or of the giving or receiving of payments or benefits to achieve the consent of a person having control over another person, for the purposes of exploitation. Exploitation shall include, at a minimum, the exploitation of the prostitution of others or other forms of sexual exploitation, forced labour or services, slavery or practices similar to slavery, servitude or the removal of organs. (“... rekrutmen, transportasi, pemindahan, penyembunyian atau penerimaan seseorang, dengan ancaman atau penggunaan kekerasan atau bentuk-bentuk tekanan lain, penculikan, pemalsuan, penipuan atau pencurangan, atau penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, ataupun penerimaan/pemberian bayaran, atau manfaat sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang tersebut untuk dieksploitasi, yang secara minimal termasuk ekspolitasi lewat prostitusi atau bentuk-bentuk eksploitasi seksual lainnya, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktek-praktek yang menyerupainya, adopsi ilegal atau pengambilan organ-organ tubuh”).[3]

Definisi ini diperluas dengan ketentuan yang berkaitan dengan anak di bawah umur (di bawah 18 tahun), bahwa: The recruitment, transportation, transfer, harbouring or receipt of a child for the purpose of exploitation shall be considered “trafficking in persons” even if this does not involve any of the means set forth in subparagraph (a).[4]

Dari definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur dari perdagangan orang (Harkristuti, 2003), adalah:

1. Perbuatan: merekrut, mengangkut, memindahkan, menyembunyikan atau menerima.

2. Sarana (cara) untuk mengendalikan korban: ancaman, penggunaan paksaan, berbagai bentuk kekerasan, penculikan, penipuan, kecurangan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan atau pemberian/penerimaan pembayaran atau keuntungan untuk memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas korban.

3. Tujuan: eksploitasi, setidaknya untuk prostitusi atau bentuk ekspoitasi seksual lainnya, kerja paksa, perbudakan, penghambaan, pengambilan organ tubuh.

Pengertian menurut Protokol tersebut menjiwai definisi perdagangan perempuan dan anak sebagaimana tertuang dalam Keputusan Presiden RI No. 88 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak, yang menyatakan: “Perdagangan perempuan dan anak adalah segala tindakan pelaku (trafficker) yang mengandung salah satu atau lebih tindakan perekrutan, pengangkutan antar daerah dan antar negara, pemindahtanganan, pemberangkatan, penerimaan dan penampungan sementara atau di tempat tujuan – perempuan dan anak - dengan cara ancaman, penggunaan kekerasan verbal dan fisik, penculikan, penipuan, tipu muslihat, memanfaatkan posisi kerentanan (misalnya ketika seseorang tidak memiliki pilihan lain, terisolasi, ketergantungan obat, jebakan hutang, dan lain-lain), memberikan atau menerima pembayaran atau keuntungan, di mana perempuan dan anak digunakan untuk tujuan pelacuran dan eksploitasi seksual (termasuk phaedopili), buruh migran legal maupun ilegal, adopsi anak, pekerjaan jermal, pengantin pesanan, pembantu rumah tangga, mengemis, industri pornografi, pengedaran obat terlarang, dan penjualan organ tubuh, serta bentuk-bentuk eksploitasi lainnya”.[5]

Di abad modern profesi sebagai perempuan penghibur dianggap sebagai salah satu profesi menyimpang dan sarat dengan eksploitasi. Di beberapa negara profesi ini dianggap sebagai salah satu bentuk kejahatan bahkan beberapa negara menganggapnya kejahatan serius yang bahkan diancam dengan hukuman mati.

Di Indonesia sendiri pelacuran tidak dianggap sebagai kejahatan akan tetapi hanya permasalahan sosial biasa. Yang dianggap kriminal adalah profesi sebagai germo yang diancam dengan hukuman maksimal 4 tahun (Pasal 297 KUHP). Karena dianggap sebagai permasalahan sosial maka penanganannya pun dilakukan dengan pendekatan sosial.[6]

Di era desentralisasi seperti sekarang, penanganan masalah ketertiban dan sosial diserahkan pada pemerintah kota dan kabupaten setempat. Dan beberapa dari mereka kemudian menerbitkan perda mengenai masalah ini. Di satu sisi pendekatan yang dilakukan pemerintah terhadap praktek prostitusi ini dipandang cukup manusiawi karena lebih menekankan aspek pembinaan daripada penghukuman. Akan tetapi di sisi lain hal ini menyebabkan timbulnya kejahatan lain yang lebih besar yaitu praktek perdagangan perempuan dan anak-anak.

Tidak dipandangnya kegiatan prostitusi sebagai sebuah kejahatan dan kegiatan perniagaan perempuan dan anak-anakpun dianggap hanya kejahatan kecil (hukuman maksimal di bawah 5 tahun) menyebabkan bisnis ini tidak terlalu diperhatikan aparat hukum. Tidak seperti kejahatan peredaran obat bius dan obat-obatan terlarang misalnya, prostitusi relatif steril dari jamahan dan incaran penegak hukum.

Dan bisnis ini sangat menggiurkan, dengan perputaran uang yang cukup fantastis menyebabkan pelakunya memiliki cukup kekuatan untuk membentuk jaringan dan organisasi yang cukup kuat dan rapi. Di dalam bisnis ini demand selalu menekan supply, satu pekerja seks komersial seringkali harus melayani 5-10 pelanggan per hari. Dan kebutuhan akan adanya "barang baru" selalu meningkat setiap harinya, berapapun jumlah yang ditawarkan akan selalu diserap pasar. Akan tetapi karena profesi ini dianggap hina tidak terlalu banyak yang mau secara sukarela menjadi pekerja seks komersial.

Dan kondisi krisis ekonomi yang terjadi di beberapa negara membuat sangat terbatasnya lapangan pekerjaan serta meningkatnya angka kemiskinan dimanfaatkan oleh para agen-agen bisnis ini untuk bergerilya ke daerah-daerah mencari mangsa umumnya kalangan remaja putri yang putus sekolah yang kemudian dibujuk dan ditipu akan dipekerjakan dengan gaji tinggi di luar daerah bahkan juga luar negri. Bahkan dalam beberapa kasus sering juga mereka menggunakan modus yang kasar seperti penculikan.

Minimnya perangkat hukum yang bisa digunakan untuk menjerat pelaku kasus-kasus perdagangan perempuan (dan anak-anak) ini menyebabkan bisnis ini meningkat dalam angka cukup fantastis pada masa krisis ekonomi. Polisi dan aparat hukum seakan tidak berdaya, contoh saja para pelaku rekuitmen ketika ditangkap biasanya hanya dijerat dengan pasal 378 KUHP mengenai penipuan, sementara aktor utamanya hanya mampu diancam dengan pasal 297 dimana hukuman maksimalnya hanya 4 tahun, sementara konsumennya bahkan tidak bisa dijerat dengan satu pasalpun.[7]

Hal ini akhirnya membuat gerah masyarakat Internasional, Ms Radhika Coomarawamy pada tahun 2000 membuat Special Rapporteur kepada Komisi Hak Asasi Manusia PBB mengenai meningkatnya bisnis perdagangan perempuan ini. Kecaman ini juga mengemuka pada saat pembahasan revisi terhadap Konvensi Perdagangan Orang dan Exploitasi Pelacuran yang diadakan pada tahun 2001 Dan selama tiga tahun berturut-turut Indonesia pun masuk pada daftar hitam negara yang tidak mengambil tindakan apapun terhadap perbudakan manusia. Hal ini kemudian memicu kecaman dan tekanan Internasional terhadap Indonesia. Akibatnya sejumlah negara kemudian mengancam unuk memberi sanksi eknomi berupa pembatasan perdagangan terhadap Indonesia.[8]

Efek Pelacuran dan Perdagangan Perempuan terhadap Ekonomi Nasional

Kegiatan ekonomi illegal selalu akan menimbulkan distorsi ekonomi. Karena walaupun perputaran uang di bisnis ini sangat tinggi akan tetapi karena illegal maka semua kegiatan ekonomi dan jumlah uang yang berputar di bisnis ini sama sekali tidak terdata dan tercatat. Selain itu tidak akan pernah ada pemasukan ke kas pemerintah misalnya di sektor pajak dan restibusi yang didapat dari bisnis illegal ini. Akibatnya uang yang berputar dan dihasilkan dari bisnis ini dianggap tidak pernah ada dan tidak pernah terjadi sehingga tentu saja ini sangat merugikan dalam perhitungan pertumbuhan kegiatan usaha dan jumlah uang yang beredar dimana uang yang berputar dalam bisnis-bisnis illegal ini dianggap hilang.[9]

Beberapa negara dalam meminimalkan efek distorsi ekonomi ini kemudian menjadikan kegiatan bisnis illegal ini menjadi usaha legal dengan pembatasan tertentu. Misalnya kegiatan perjudian yang dilegalkan di area tertentu seperti Las Vegas Amerika atau Genting Highland di Malaysia. Di Jerman dan Belanda pun bisnis pelacuran dilegalkan dimana usaha ini menjadi obyek yang terkena pajak.

Akan tetapi ada juga efek positif dari kegiatan bisnis illegal ini. Dalam kaitannya dengan industri pelacuran, wisata seks merupakan menu yang menjadi daya tarik wisatawan mancanegara. Beberapa negara yang menjadikan wisaya seks ini sebagai ikon untuk menarik wisatawan mancanegara diantaranya Thailand dan Filipina.

Maraknya industri seks di Thailand dan Filipina adalah buah dari kemiskinan alam akibat kerusakan ekologi dan sulitnya akses ekonomi akibat sentralisasi pembangunan. Memang kebijakan Thailand untuk pengembangan ekonomi yang hanya terfokus pada tourism (Pariwisata), sebab pariwisata merupakan industri utama yang menghasilkan trilyunan rupiah. Salah satu pelayanan dalam industri ini adalah seks komersil. Biasanya para pekerja sex mencoba mengajak para turis yang berlalu lalang masuk dan minum-minum di bar. Wanita Penghibur di sini menjadi tulang punggung keluarga dan anak-anak mereka.

Efek lain dari kegiatan bisnis illegal ini terjadi ketika para pengusaha hitam yang terlibat dalam bisnis ini untuk menjaga citranya di hadapan publik berusaha mencuci uangnya di bidang usaha legal.Usaha legal yang menjadi favorit adalah di bidang usaha perdagangan dan ekspor impor, pasar modal (valuta asing, komoditi, saham) dan yang paling favorit adalah usaha properti. Hampir semua pengusaha hitam yang terlibat dalam usaha bisnis illegal selalu menjadikan usaha properti sebagai bisnis utamanya.

Dengan logika sederhana saja, seseorang bisa membeli sesuatu kalau dia memikiki uang, dan dia bisa memiliki uang kalau bekerja atau memiliki usaha, dan untuk menghasilkan uang maka tempat ia bekerja atau usaha yang dijalankannya harus produktif. Jadi dominasi perekonomian di sektor konsumsi tentu saja merupakan sebuah keajaiban ekonomi.

Pertumbuhan ekonomi saat ini sesungguhnya tidak hanya digerakkan sektor sektor usaha produktif dan investasi, namun juga digerakkan oleh ekonomi hitam (black economy). Ekonomi hitam ini bisa berupa korupsi, pembalakan hutan, perdagangan illegal, sampai ke perdagangan perempuan ini.

Analisa dan Kesimpulan

Dan di era globalisasi seperti saat ini dimana isu HAM dan gender menjadi fokus perhatian penting di kalangan masyarakat yang tinggal di negara-negara maju, isu ini bisa menjadi ganjalan serius dalam hubungan ekonomi di beberapa negara. Hal ini karena maraknya perdagangan perempuan dan anak-anak ini bisa menimbulkan efek hilangnya sebuah generasi (lost generation) yang mengancam ketahanan ekonomi di masa depan.

Hukum dan ekonomi selalu berkaitan erat. Lemahnya hukum akan menimbulkan banyak terjadi distorsi ekonomi baik berupa kepastian usaha maupun maraknya kegiatan bisnis illegal. Karena itu salah satu cara yang harus ditempuh untuk

memperbaiki kondisi perekonomian nasional adalah dengan melakukan penegakan hukum yang tegas dan tidak pandang bulu.

Dalam sejarah perekonomian negara-negara lain hukum yang tegas selalu berimbas positif pada naiknya pertumbuhan perekonomian negara itu. Negara-negara yang memiliki sistim perekonomian yang kuat dan makmur selalu ditunjang oleh sistim hukum yang kuat dan adil pula.

Kegiatan perdagangan perempuan dan anak-anak merupakan sebuah bentuk perbudakan manusia di era modern sehingga penghapusan tindakkan ini harus menjadi prioritas bersama demi menyelamatkan anak-anak bangsa ini baik sekarang maupun di masa depan. Perempuan dan anak-anak adalah penentu generasi yang akan datang, apabila kita mengabaikan mereka maka sama saja kita mengabaikan nasib bangsa ini di masa depan.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Bariah, Chairul. 2001. Hak-Hak Politik Perempuan Di Indonesia Dalam Perlindungan

Hak Asasi Manusia (HAM), dalam Citra Justicia, Vol. II Nomor 1 Juli 2001

Harkrisnowo, Harkristuti. 2003. Rekonstruksi Konsep Pemidanaan : Suatu Gugatan

Terhadap Proses Legislasi dan Pemidanaan di Indonesia. Jakarta

Jones, Gavin W. 1985. Masalah Urbanisasi di Indonesia. Jakarta: Lembaga Demografi

FE UI

Kartono, Dr. Kartini. 1981. Patologi Sosial. Jakarta: Rajawali Pers

Kusumah, Mulyana W. 1992. Kejahatan dan Kekerasan-Kekerasan Di Sekitar Kita,

Bahan, No. 1 Tahun IV. Jakarta.

Sunaryo, Thomas. 1987,.Studi Tentang Hubungan Kerja Dalam Lokalisasi Pelacuran,

Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Universitas Indonesia.

Widiyanti, Ninik dan Panji Anoraga. 1987. Perkembangan Kejahatan dan Masalahnya

Ditinjau Dari Segi Kriminologi dan Sosial, Cetakan Pertama. Jakarta:

Pradnya Paramita

Internet

ejournal.unud.ac.id/abstrak/artikel%20skw%20(pelacuran).pdf

jurnal.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/7208150164.pdf

http://www.freewebs.com/pencabulan_pada_anak/investigasihukum.htm

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/19987/4/Chapter%20I.pdf

LAMPIRAN

Teknis Pelaksanaan Presentasi “Sex Tourism” dalam tema Trans-national Crime

Oleh : Edi Miranto (08430003)

M. Endry Saputra (08430007)

Sesi 1: Simulasi (drama)

Dalam sesi pertama ini presenter akan mengajak audiens untuk melakukan simulasi berupa drama dengan cerita yang memuat materi presentasi dengan tujuan agar audiens dapat terlibat secara langsung dan dapat memahami materi lebih dalam. Dalam simulasi (drama) ini presenter akan menjadi pemain yang nanti juga bertugas mengarahkan cerita secara bergantian. Sesi ini akan berlangsung selama + 15 menit.

Pemain+narator : Edi sebagai Pah Poh, Endry sebagai Petugas

Pemain tambahan (audiens) : 1 orang sebagai Mr. X (turis), 3-4 orang sebagai “guide

Alur Cerita:

Mr. X adalah seorang turis asal Amerika Serikat yang sedang berlibur ke Kamboja yang juga merupakan kunjungan pertamanya di negara di kawasan Asia. Mr. X pergi ke Kamboja setelah bercerai dari isterinya dan berniat untuk menenangkan diri sehingga memutuskan pergi berlibur dan mencari suasana baru. Setibanya di Kamboja Mr. X bingung menentukan tempat wisata yang akan dituju dan akhirnya dia bertanya kepada penduduk setempat. Seorang penduduk bernama Pah Poh kemudian menawarkan sebuah “paket wisata” kepada Mr. X. Mr. X menerima penawaran tersebut sehingga dibawalah Mr. X ke sebuah tempat oleh Pah Poh.

Dalam perjalanan ke tempat itu Pah Poh menjelaskan lebih jauh mengenai “tempat wisata” seperti apa yang akan dikunjungi dengan segala kesenangan yang ada di tempat tersebut. Setibanya di tempat tujuan Pah Poh mulai memberikan “paket wisata” yang dijanjikan. Pah Poh memanggil beberapa orang “putrinya” (berumur 5-10 tahun) untuk menemani Mr. X berlibur di Kamboja. Mr. X kemudian diminta untuk memilih gadis mana yang akan diajaknya “berwisata” dengan membayar biaya berkisar antara 3-20 USD kepada Pah Poh. Setelah Mr. X memilih gadis yang akan menjadi “guide”nya, segera saja Mr. X diajak menuju tempat wisata sesungguhnya yaitu “Brothel”. Brothel adalah tempat di mana turis seperti Mr. X dapat melakukan seks dengan gadis di bawah umur yang tadi dibawanya. Setelah puas berwisata dengan gadis tersebut (dan beberapa gadis yang lain beberapa hari kemudian) Mr. X kembali ke Amerika dengan membawa cerita serta pengalaman barunya dalam menikmati wisata d Kamboja.

Setelah kejadian tersebut Mr. X kemudian menjadi sering kembali ke Asia untuk menjelajahi “tempat wisata” lain yang sejenis. Kali ini Mr. X mencoba mencari tempat wisata sejenis bersama Mr. Z di Thailand dan menemukannya di daerah Chiang Mai. Cara yang ditawarkan di sana berbeda dengan yang ada di Kamboja. Di Thailand, para turis seperti Mr. X dan Mr. Z harus mencari sendiri “guide” yang diinginkan untuk menemani mereka berwisata. Cara mencari tahu bahwa seseorang adalah “guide” atau bukan adalah dengan menunggu sampai di atas pukul 10 malam. Karena seorang anak (usia 10-18 tahun) yang masih berkeliaran pada jam tersebut kemungkinan besar adalah “guide”. Setelah mengidentifikasi seseorang adalah “guide” langkah selanjutnya yang perlu dilakukan oleh Mr. X dan Mr. Z adalah melakukan tawar menawar. Setelah kedua sepakat maka “guide” dapat langsung dibawa ke hotel untuk “berwisata”.

Akan tetapi rupanya kali ini Mr. X dan Mr. Z sedang mengalami kesialan. Mr. X dan Mr. Z membawa “guide”nya masing-masing ke sebuah hotel yang sudah bekerjasama dengan FRIENDS. FRIENDS adalah sebuah NGO dari Uni Eropa yeng concern terhadap permasalahan-permasalahan prostitusi di Thailand dan Kamboja. Hotel yang bekerjasama dengan FRIENDS menerapkan pemeriksaan yang ketat terhadap para tamu (terutama turis mancanegara) yang menginap dengan anak-anak. Jika terbukti bahwa tamu tersebut bukan keluarga dari anak yang bersamanya maka tamu tersebut akan ditangkap. Mr. X dan Mr. Z juga tidak luput dari pemeriksaan tersebut. Mereka berdua kemudian terbukti bukan sebagai keluarga dari anak yang bersamanya dan akhirnya ditangkap oleh yang berwajib.

(selesai)

Sesi 2: Pemutaran Film

Dalam sesi kedua ini presenter akan menayangkan beberapa cuplikan berupa audio visual yang menjelaskan tentang sex tourism yang ada di dua negara ASEAN yaitu Kamboja dan Thailand yang bertujuan untuk memperdalam pemahaman terhadap materi yang telah disimulasikan pada sesi 1. Sesi kedua ini akan berlangsung selama + 15 menit

(selesai)

Sesi 3: Pemaparan

Dalam sesi ketiga ini presenter akan menjelaskan materi tentang sex trafficking dengan memberikan contoh kasus yang terjadi di beberapa negara di ASEAN. Pemaparan ini bertujuan untuk menambah pengetahuan mengenai sex trafficking dan kaitannya dengan krisis ekonomi secara khusus dengan memberikan penjelasan-penjelasan tambahan yang belum termuat dalam sesi 1 dan 2. Sesi ketiga ini akan berlangsung selama + 15 menit.

(selesai)

Sesi 4: Diskusi (tanya-jawab)

Dalam sesi terakhir ini presenter memberikan kesempatan bagi audiens untuk berdiskusi baik dengan mengajukan pertanyaan maupun pernyataan-pernyataan mengenai sex trafficking yang disebabkan oleh krisis ekonomi. Diskusi ini merupakan salah satu bentuk brainstorming bagi presenter dan audiens yang bertujuan untuk mengkaji materi secara komprehensif. Sesi keempat akan berlangsung selama 30 menit.

(selesai)



[1] ejournal.unud.ac.id/abstrak/artikel%20skw%20(pelacuran).pdf diakses pada 14 Desember 2010, pukul 19.30 WIB

[2] ibid

[3] jurnal.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/7208150164.pdf diakses pada 14 Desember 2010, pukul 20.00 WIB

[4] ibid

[5] ibid

[6] http://www.freewebs.com/pencabulan_pada_anak/investigasihukum.htm diakses pada 14 Desember 2010, pukul 20.00 WIB

[7] ibid

[8] ibid

[9] http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/19987/4/Chapter%20I.pdf diakses pada 14 Desember 2010, pukul 21.00 WIB

Tidak ada komentar:

Posting Komentar